Sabtu, 03 Desember 2016

Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas dan Kuantitas

Penulis adalah santri di pondok  pesantren Annuqayah daerah Latee. saat ini tercatat sebagai mahasiswa INSTIKA Annuqayah Prodi Pendidikan Agama Islam. aktif menulis esai, arikel, story dan puisi. perindu bulan purnama karena baginya saat itulah sebuah puisi akan tercipta buat putri tidur-nya.

penulis dapat dihubungi di email abdullahrois79@gmail.com
untuk Fb-nya klik DISINI dan DISINI buat twitter-nya
pengin lihat puisi-puisinya juga? klik HERE
atau pengin dapatkan cerita bahasa inggris?klik HERE
MAKALAH
Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas dan Kuantitas
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Materi:  Studi Hadits
Dosen Pembimbing: Moh. Jazuli, M.HI.
 





Disusun Oleh :

Kelompok III
Alvi Syahril Muttaqin
Fajrur Rahman
Ahmad Baisuni
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH
( I N S T I K A )
GULUK-GULUK SUMENEP MADURA
2016


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kekuatan lahir bathin kepada kami sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
            Makalah ini berjudul Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas dan Kuantitas” yang menjadi tugas bagi mahasiswa Semester I INSTIKA Annuqayah Guluk-guluk dalam mata kuliah Studi Hadits pada Prodi Pendidikan Agama Islam yang dibimbing oleh bapak Moh. Jazuli, M.HI.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu kepada semua pembaca dan pakar dimohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
            kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik demi sempurnanya makalah ini, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Amin yan Rabbal ‘Alamin
Gulul-guluk, 18 Oktober 2016
Tim Penyusun,



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................         I
DAFTAR ISI........................................................................................................        II
BAB I      : PENDAHULUAN ............................................................................         1
A.    Latar Belakang Masalah ...............................................................         1
B.     Rumusan Masalah ........................................................................         1
C.     Tujuan Pembahasan ......................................................................         1
BAB II    : PEMBAHASAN................................................................................         2
A.    Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas.......................         2
1.      Hadits Mutawatir....................................................................         2
2.      Hadits Ahad............................................................................         4
B.     Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas.........................         6
1.      Hadits Shahih .........................................................................         6
2.      Hadits Hasan ..........................................................................         6
3.      Hadits Dha’if...........................................................................         7
BAB III   : KESIMPULAN ................................................................................       10
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................       11




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits, maka pada bahasan ini, kami kelompok ketiga, menyusun makalah ini dengan judul “Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas dan Kuantitas” sebagai upaya ikut serta dalam menyikapi permasalan yang telah dipaparkan dalam lingkup dunia akademik. Tujuan akhirnya adalah dapat memberikan manfaat kepada diri sendiri khususnya dan orang lain pada umumnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas
2.      Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Memahami apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas
2.      Memahami Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad:[1]
1.      Hadits Mutawatir
a.       Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
“Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.”[2]
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.[3]
b.      Syarat Hadits Mutawatir
1)      Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2)      Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3)      Berdasarkan tanggapan pancaindra
c.   Macam-macam mutawatir
1)      Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
قـَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang  ini sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2)      Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال ابو مسى م رفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إلا فى الإستسقاء (رواه البخارى ومسلم)
“Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)”
3)      Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
2.      Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata  wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.[4]
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz:
a.       Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَهِ عَدَدٌ لا يَبْلُغُ حَدَّ تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar.
اِذَا جَاءَكُمُ اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَــــهٍ
 “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
b.      Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــِدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim).
B.Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas.
Para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
  1. Hadits Shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
·         Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
·         Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.
  1. Hadits Hasan
·         Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :
وَخَبَرُ اْلآحَادَ بِنَقْلِ عَدْلِ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحِ لِذَاتِهِ. فَاءِنْ خَفَّ الضَبْطُ فَلْحُسْنُ لِذَاتِهِ
“khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.”
            Dengan kata lain hadits hasan adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ الّذِي قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ وَاْلعِلَّهِ
“Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.”
Ciri-ciri hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.[5]
·         Contoh hadits Hasan
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
أَعْمَارُ اُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِليَ السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
  1. Hadits Dha’if
a.       Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
“Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.”
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.[6]
b.      contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّدٍ
“barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.”
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar :     فِيْهِ لَيِّنٌ  padanya lemah.
c.       Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1)      tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2)      Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya :   رُوِيَ diriwayatkan,     نُقِلَ dipindahkan,     فِيْمِا يُرْوِيَ pada sesuatu yang diriwayatkan      dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir lahzhi, ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu hadits shahih, hasan dan dha’if.


DAFTAR PUSTAKA
Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press, 2008
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat), 2010.





[1] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
[3] M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.
[4] Ibid. Hlm. 90
[5] Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.
[6] Ibid. hlm. 164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar