Penulis adalah santri di pondok pesantren Annuqayah daerah Latee. saat ini tercatat sebagai mahasiswa INSTIKA Annuqayah Prodi Pendidikan Agama Islam. aktif menulis esai, arikel, story dan puisi. perindu bulan purnama karena baginya saat itulah sebuah puisi akan tercipta buat putri tidur-nya.
penulis dapat dihubungi di email abdullahrois79@gmail.com
pengin lihat puisi-puisinya juga? klik HERE
atau pengin dapatkan cerita bahasa inggris?klik HERE
MAKALAH
Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas dan
Kuantitas
Diajukan Untuk Memenuhi
Tugas
Materi: Studi Hadits
Dosen Pembimbing: Moh.
Jazuli, M.HI.
Disusun Oleh :
Kelompok III
Alvi Syahril Muttaqin
Fajrur Rahman
Ahmad Baisuni
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH
( I N S T I K A )
GULUK-GULUK SUMENEP MADURA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan kekuatan lahir bathin kepada kami sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.
Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW.
Makalah ini berjudul
“Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas dan Kuantitas” yang menjadi tugas bagi mahasiswa Semester I INSTIKA Annuqayah Guluk-guluk
dalam mata kuliah Studi Hadits pada Prodi Pendidikan Agama Islam yang dibimbing
oleh bapak Moh. Jazuli, M.HI.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu
kepada semua pembaca dan pakar dimohon saran dan kritik yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
kepada semua pihak
yang telah memberikan saran dan kritik demi sempurnanya makalah ini, ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Amin yan
Rabbal ‘Alamin
Gulul-guluk, 18 Oktober 2016
Tim Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ I
DAFTAR ISI........................................................................................................ II
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A.
Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C.
Tujuan Pembahasan ...................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN................................................................................ 2
A. Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas....................... 2
1. Hadits Mutawatir.................................................................... 2
2. Hadits Ahad............................................................................ 4
B. Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas......................... 6
1.
Hadits Shahih ......................................................................... 6
2.
Hadits Hasan .......................................................................... 6
3.
Hadits Dha’if........................................................................... 7
BAB III : KESIMPULAN ................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian
keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu
hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari,
terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian
orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi
kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan
hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah
perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk
mengungkapkan tinjauan pembagian hadits, maka pada bahasan
ini, kami kelompok ketiga,
menyusun makalah ini dengan judul “Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas dan
Kuantitas” sebagai upaya ikut
serta dalam menyikapi permasalan yang telah dipaparkan dalam lingkup dunia
akademik. Tujuan akhirnya adalah dapat memberikan manfaat kepada diri sendiri
khususnya dan orang lain pada umumnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas
2. Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas
C.
Tujuan Pembahasan
1. Memahami apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas
2. Memahami Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas
Para ulama
hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas
atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad.
Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri,
tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul
seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama
golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama
kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits
ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad:[1]
1.
Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits
Mutawatir
Secara
etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang
banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat
untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak
thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari
redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ
بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ
عَلـَى اْلكـَـذِبِ
“Hadits yang
berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi
mereka sepakat berbohong.”[2]
Ulama
mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat
hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak
termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan
tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak
perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan.
Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan
diamalkan.[3]
b. Syarat Hadits Mutawatir
1) Hadits Mutawatir harus
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak
mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal
perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir
sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar
Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10
itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang
menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan antara
perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah
perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3) Berdasarkan tanggapan
pancaindra
c. Macam-macam mutawatir
1) Hadits mutawatir Lafzhi,
yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta
kandungan hokum yang sama, contoh :
قـَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Rasulullah SAW bersabda, “Barang
siapa yang ini sengaja berdusta atas
namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.
Menurut
Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan
bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi,
yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan
dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang
sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad
SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال ابو مسى م رفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ
من دعائه إلا فى الإستسقاء (رواه البخارى ومسلم)
“Abu Musa Al-Asy’ari berkata
bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a
hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat
istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)”
3) Hadits Mutawatir ‘Amali,
yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian
diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya,
diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang
shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala
amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai
hadits mutawatir ‘amali.
2.
Hadits Ahad
Kata ahad
merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata
wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka
bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits
yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi
belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya,
hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir.[4]
Ulama ahli
hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur.
Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz:
a. Hadits Masyhur
Menurut bahasa,
masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut
istilah ada beberapa definisi, antara lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَهِ عَدَدٌ
لا يَبْلُغُ حَدَّ تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ
“Hadits
yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah
mereka.”
Hadits masyhur
ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus
shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun
matannya. Seperti hadits ibnu Umar.
اِذَا جَاءَكُمُ اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
“Barang siapa yang hendak
pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan
hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi
ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti
hadits Nabi yang berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ
“tidak memberikan bahaya atau
membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits
masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَــــهٍ
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim
laki-laki dan perempuan.”
b. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli
hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz
menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”.
Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua
orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut
Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat
perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat
terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu,
ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan
oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian
diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan
hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada
tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــِدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang di antara
kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya,
dan semua manusia,” (H.R.
Bukhari dan Muslim).
B.Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas.
Para ulama ahli
hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu
hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
- Hadits Shahih
Menurut bahasa berarti
“sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli memberikan
defenisi antara lain sebagai berikut :
·
Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya
bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith
dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan
tidak ber’illat”.
·
Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan
tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas
dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya
bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4)
matannya tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.
- Hadits Hasan
·
Pengertian
dari segi bahasa hasan
dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah
para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih
kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu
:
وَخَبَرُ اْلآحَادَ بِنَقْلِ عَدْلِ تَامُّ
الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحِ
لِذَاتِهِ. فَاءِنْ خَفَّ الضَبْطُ فَلْحُسْنُ لِذَاتِهِ
“khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang
adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak
ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut
hasan Lidztih.”
Dengan
kata lain hadits hasan adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ
الّذِي قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ وَاْلعِلَّهِ
“Hadits hasana adalah hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit
kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.”
Ciri-ciri hadits hasan
hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi
kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm
(sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika
disbanding dengan hadits shahih.[5]
·
Contoh hadits Hasan
Hadits yang diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah
Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa
Nabi SAW bersabda :
أَعْمَارُ اُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ
اِليَ السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan
sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
- Hadits Dha’if
a. Pengertian
Hadits Dhaif
bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan
matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah.
Dalam istilah hadits dhaif adalah :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
“Adalah hadits yang tidak
menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak
terpenuhi.”
Jika hadits
dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits
hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para
perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau
matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau
matan.[6]
b. contoh hadits dhaif
hadits yang
diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah
Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ
أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّدٍ
“barang siapa yang mendatang
seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau
pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.”
Dalam sanad
hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif
oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan
komentar : فِيْهِ لَيِّنٌ padanya lemah.
c. Hukum periwayatan hadits
dhaif
Hadits dhaif
tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits
dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya
hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’
perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif
sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan
akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum
syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah
maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji),
kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam
meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak
menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam)
kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni
majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya :
رُوِيَ diriwayatkan, نُقِلَ
dipindahkan, فِيْمِا يُرْوِيَ pada sesuatu yang
diriwayatkan dating. Periwayatan
dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pembagian hadits
bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3
bagian yaitu : mutawatir lahzhi, ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits
ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan
ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits
bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu
hadits shahih, hasan dan dha’if.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Noor
Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press, 2008
Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat), 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar